Mataram, 11 Juni 2013. 09 17 WITA.
Tet.
Tet… Tet… bunyi alarm di jam 05.30 WITA membangunkan saya dari tidur yang cukup
pulas di Guest House Rumah Bupati Sumba Timur. Bergegas mandi karena jam 7.00
WITA saya akan dijemput teman –teman dari Dinas Pendidikan untuk menuju ke
Kecamatan Paga, di selatan pulau Sumba.
Ah…
masih dingin, tp terus mengguyur air yang segar itu…
Tepat
jam 7.15 WITA, mobil gagah bernama Strada, asal pabrikan Jepang Mitsubishi
sudah parkir di depan kamar saya. “mari pak kita berangkat”. Ajak saya kepada
teman-teman dari Dinas Pendidikan.
“pak
kita mampir beli makanan dulu, disana tidak ada yang jual makanan”
Perjalanan
pun dimulai. Strada memang jago dijalanan sulit, tak hanya sekali mobil ini
harus turun ke sungai karena tidak mempunyai jembatan. Ya inilah Indonesia,
tepatnya di Sumba.
Bosan?
Tidak!! Selama perjalanan saya bisa merasakan indahnya alam yang mata ini tidak
perbah lihat sebelumnya. Padang savana
dengan banyak ternak, Sumba begitu indah. Melewati hutan hujan yang lebat, air
terjun yang terdapat belut misterius, luar biasa!!!!
Tak
terasa perjalanan sudah hampir 8 jam. Sampailah kita di Kecamatan Paga. Pesisir
pantai ternyata, dengan ombak besar khas lautan Hindia.
Tidak
lama saya di Paga, hanya sekitar 3 jam. Harus segera menyelesaikan pekerjaan
secepatnya, atau saya akan pulang larut malam sampai di Waingapu nanti.
Perjalanan
malam pun tak kalah seru, entah lewat jalan atau sungai, saya sudah tidak tahu,
yang jelas sangat tidak rata. Kami pun berhenti sejenak di rumah warga, dan
makan nasi bungkus yang kita beli pagi tadi. Masih enak?! Hahahahah… kalau
lapar mah apa-apa enak!!!
Sekitar
jam 23.00 WITA, kami pun sampai di Guest House Bupati Sumba Timur. Saya pun
langsung tertidur.
………
Waikabubak.
Inilah
ibukota Sumba Barat. Kota kecil, sangat kecil menurut saya. Kota dengan pria
dewasa yang selalu membawa sebuah parang khas sumba di samping pinggangnya. Ngeri
juga memang, jangan-jangan kalau berkelahi bisa saling tebas…. Tapi dapat kabar
mulai tahun 2012 sudah dilarang pria dewasa untuk membawa parang, kebijakan
yang baik.
Saya sempat ke Kampung Waitabar dan Kampung Tarung. Salah dua Kampung adat di Sumba Barat. Kampung yang masih sangat asli, dengan rumah yang masih terbuat dari bebak, dengan kayu khas Sumba yang tahan sampai bertahun-tahun.
Mama-mama
di Kampong Tarung maupun Kampung Waitabar juga sangat ramah. Sesekali kami
bercanda. Tertawa bersama.
Pasola. Saya belum lihat sampai sekarang. Tiap ke Sumba Barat, selalu tidak pas dengan jadwal Pasola yang diadakan sekitar bulan Februari sampai Maret.
Namun saya
sudah sampe ke Kecamatan Lamboya Bawa, tempat dimana diadakan Pasola. Padang
rumput yang luas, selingi beberapa kubur batu yang sudah berumur ratusan tahun.
Sungguh menarik Pulau Sumba ini… masih banyak yang masih bisa saya ceritakan tentang Sumba….
Salam,
@andrants
Tidak ada komentar:
Posting Komentar