Minggu, 22 Desember 2019

Situ Gunung Suspension Bridge, Sukabumi

Sudah sejak 2017 spot di Jawa Barat ini terbayang untuk dikunjungi selain Terasering Panyaweuyan di kaki gunung Salak di Argapura, Majalengka.
Panyaweuyan sudah dikunjungi di bulan Januari 2019.

Akhirnya, jembatan gantung terpanjang di Asia Tenggara yang mempunyai panjang 243 meter dan tinggi 161 meter bisa saya kunjungi. Terbuat dengan sling baja kuat, bahan papan kayu ulin, yang mampu menopang berat maksimal 55 ton ini dapat dilewati 40 pengunjung dalam sekali waktu.

Tiket masuk Suspesion Bridge, 50K, free snack

Pintu masuk

Selesai dibangun tahun 2017, jembatan ini menjadi icon wisata di Sukabumi. Menjadi spot foto favorite pengunjung, jembatan ini sungguh asik untuk dilewati, dengan sensasi bergoyang ketika sudah sampai ditengah jembatan.
Anda bisa melanjutkan petualangan ke Air Terjun Sawer, dengan berjalan kaki tidak lebih dari 30 menit dari ujung jembatan.
jam 07.00 sudah mulai ramai

Foto dulu sebelum nyebrang


Terbaring :D

Mulai ramai dengan pengunung 

Curug Sawer

dengan ketinggian 25 meter



Sensasinya? saat berada di tengah jembatan ini, akan terasa bergoyang. Dan itu membuat detak jantung saya berdegup lebih kencang.
Pagi sebelum jam 07.00 adalah waktu yang tepat untuk menyebrangi jembatan, karena belum sesak dengan pengunjung yang lain, meski sudah dibatasi bagi pengunjung untuk melewati jembatan ini.

sudut tempat makan

Ada beberapa spot tempat makan dan ngopi dengan view pegunungan gunung Gede. Isi perut masih kosong? Tidak perlu kawatir, dari tiket yang kita bayar kita sudah dapat free makanan ringan, berupa kripik dan singkong rebus.
View Gunung Gede


Cukup mudah mencapai Situ Gunung Suspension Bridge ini. Dari arah Jakarta, bisa melalui toll Jagorawi ke toll Sukabumi dan exit di toll Cigombong, karena exit toll Cibadak belum rampung dikerjakan.
Akan melalui jalanan padat ketika sudah memasuki Kecamatan Cibadak mengarah ke Kota Sukabumi. Ketika sampai di Kecamatan Cisaat, perhatikan jalan menuju arah ke Kecamatan Parungkuda. Tinggal menelusuri jalan raya satu-satunya, venue Situ Gunung Suspension Bridge tidak jauh lagi.

HTM dipatok dengan tarif IDR 50.000,00 untuk dewasa, lumayan murah untuk menikmati sensasi jembatan gantung terpanjang Asia Tenggara, dan ketiga di Asia.

Mau kesana?!
Saya sudah.



follow IG: @andrants

Sabtu, 30 November 2019

Pangalengan: Sisi Selatan “Bandung” yang Menyimpan Indah dan Misteri





“Sudah mau sampai nih Bro”
WA teman saya yang 2 jam lalu berangkat dari Jakarta. Memang Sabtu adalah pilihan sulit bagi yang mau menuju Puncak.
Posisi saya di Ciawi, persis exit toll arah Puncak.


Berawal dari WA iseng malam sebelumnya, teman saya yang tinggal di Jakarta mengajak ke Pangalengan. Sesuatu yang mendadak, antara mau iya atai tidak.
Tapi karena dia mau menjemput saya di Bogor, saya iyakan setelah satu jam lebih WA nya pending saya jawab.

Sabtu siang kami meluncur ke Pangalengan, via Cipularang. Pilihan terbaik daripada lewat Puncak yang tentu saja akan sangat macet, meski via Cipularang bisa dibilang memutar, namun malah lebih singkat untuk bisa mencapai Pangalengan sebelum malam.

Seperti biasa, Cikampek selalu macet, karena pembangunan toll melayang yang belum selesai.

Setelah Cipularang, lalu lintas toll bisa dibilang lancer. Sampai dengan exit toll Soreang di Kabupaten Bandung, sekitar pukul 17.00. Ini kali pertama bagi saya ke Pangalengan.


Kami sampai di Pangalengan hamper jam 19.00. Dan langsung menuju penginapan sederhana yang telah teman saya pesan. Shinta Corner Ranch. Sedikit ada miss masalah kamar, karena apa yang sudah dibook tidak sama dengan yang dipesan via aplikasi Traveloka. Meski diupgrade ke kamar yang lebih luas, namun bentuk kamar yang bisa dibilang bungalow, tidak sebagus dari yang dipilih diaplikasi. Yasudah lah. Karena memang tidak ada kamar lagi.
 
Kami sampai di Hotel, hanya ada 3 kamar 
View kamar di pagi hari
View dari kamar yang kami dapatkan, family room.

Setelah unpack dan mandi, tentu saja kami mencari makan malam yang khas di Pangalengan. Tidak banyak memang. Namun ada kuliner malam yang katanya enak menurut google. Sate Pangalengan. Di warung Sate Paris kami memesan seporsi sate kambing dan gule kambing. Cukup untuk mengisi perut dan sedikit menghangatkan badan dengan teh tawar yang diberikan gratis.

Sebenarnya apa yang akan kami cari di Pangalengan? Kenapa tidak ke Kota Bandung saja yang lebih binger dengan kehidupan hedon?!
Jawabannya karena kami memang terlalu menyukai alam.
Lagi-lagi karena Instagram, postingan tentang Perkebunan Teh di Pangalengan yang tentu saja berhasil menarik kami untuk mengunjungi.
Tujuan kami tidak banyak, karena memang waktu yang tidak lama. Cukul Sunrise Point adalah yang akan kami datangi besok pagi. Dengan catatan bisa bangun pagi… hahahah…
Cuma itu? Tentu saja tidak. Kami juga akan mampir ke Situ Cilenca, situ yang lumayan bagus di Instagram, lebih-lebih jika pagi dan bawa drone, barang yang belum kami punyai.
Keun Teh Malabar juga masuk dalam list kami. Kok kebun teh lagi? Ternyata bukan itu tujuan  kami. Tepatnya adalah Rumah Pengabdi Setan. Bagi yang pernah nonton Film Horor 1983 dengan judul yang sama yang telah diremake oleh Joko Anwar di tahun 2017, pasti akan tahu seramnya rumah ini.
Terakhir adalah Malabar Coffee, dengan kopi luwaknya yang difavoritkan.


pagi itu saya sudah bangun jam 05.00. tapi teman saya mungkin kecapean karena belum juga bangun. Rencana untuk melihat sunrise sepertinya gagal.
06.00 kami baru berangkat menuju Cukul. Sekitar perjalan 45 menit dari hotel. Tentu saja bermodal google maps.
Sampai di Cukul Sunrise Point ternyata sudah ramai pengunjung. Parkiran sudah lumayan ramai.
Cukul Sunrise Point

Dengan berjalan sekitar 200 meter dengan jalanan berbatu, kami menuju Cukul point. Dengan HTM IDR10.000/orang, kita bisa menikmati lekukan pegunungan di selatan Bandung yang cantik dengan kabutnya yang masih menyelimut sembari sinar matahari naik dari titik terbitnya.
Banyak yang mendirikan tenda disini, sepertinya mereka camping dari malam sebelumnya. Ada juga memanfaatkan pagi yang sahdu dengan mengambil foto preweding.
Ada beberapa warung disini, yang menyediakan kopi, gorengan dan cemilan lain. Tidak perlu kawatir jika belum sarapan sebelumnya.
Sunrisenya sudah lewat

 
ada yang foto prewed
Sejuk liatnya...

Santai di hammcok...

Ada yang menarik dari Cukul Sunrise Point ini, karena bersebalahan dengan sebuah danau kecil yang diseberangnya terdapat vila yang cantik, bergaya eropa. Menarik perhatian saya dan mencoba menanyakan tentang villa tersebut ke tukang parkir dan google.
Sebuah villa yang ternyata dimiliki oleh PT. Sosro, perusahan minuman teh besar di negeri ini. Info yang saya dapat dari google, villa ini ternyata angker. Karena dulu pernah terjadi pembantaian di villa tersebut, pernah rusak terkena gempa dan telah direnovasi kembali.
Penasaran dengan villa tersebut, kami mencoba kesana, dan ternyata tidka diperbolehkan mengambil foto apalagi masuk. Dengan mencuri-curi foto dari kejauhan, keindahan villa ini bisa saya abadikan.
Danau sebelah Cukul Sunrise Point

 
Villa Sosro dari kejauhan

Villa Sosro dari dekat

Karena hari mulai panas, kami putuskan untuk kembali ke Hotel. Karena melewati Situ Cilenca, kami sempatkan mampir. Tidak lama kami disini, karena ternyata airnya surut, karena musim kemarau, yang tentu saja mengurangi keindahan dari situ ini.

Sekitar jam 09.00, kami sudah sampai di hotel kembali. Mandi dan kembali packing untuk cek out dan menuju ke Kebun Teh Malabar. Tidak jauh dari tempat kami menginap.
“Rumah Pengabdi Setan”, saya ketikkan di google maps.memang tidak jauh.
Rumah Pengabdi Setan

Sesampainya disana, kesan angker memang terasa. Meski sebenarnya, perkebunn teh Malabar cukup ramai. Bahkan rumah ini dekat dengan permandian air panas dan pemukiman penduduk.
Sudah ada empat orang yang sedang berkunjung di rumah ini. Dan seorang penjaga yang saya lupa namanya. Masuk di dalam rumah langsung disambut oleh foto “Ibu”. Ibu yang dalam film Pengabdi Setan adalah penganut ilm hitam yang menjadikan anaknya sebagai tumbal di umur ke tujuh tahun.
Ibu

Penjaga rumah mengatakan bahwa rumah ini dulunya adalah rumah dinas dari kepala HRD PTPN VIII, yang pada tahun 2017 rumahnya disewa untuk pembuatan film Pengabdi Setan. Pada saat ptoses shooting, penghuni masih tinggal di rumah tersebut sedangkan pengambilan film tetap berjalan.
Entah kenapa akhirnya penghuni pindah ke rumah lain, mungkin karena kurang bebas dalam melakukan kegiatan di rumah.
Penjaga rumah menuturkan bahwa, sebelum proses shooting dimulai, memang didatangkan makhluk halus di rumah tersebut agar kesan angkernya lebih dramatis. Namun sampai dengan selesanya proses pembuatan film, pihak pembuat film tidak mengembalikan makhluk halus tersebut kembali ke asalnya.
Setelah pengambilan film selesai, pemilik rumah kembali menempati rumah tersebut. Namun merasa ada sesuatu hal yang aneh, penghuni memutuskan untuk meninggalkan rumah tersebut. Kini rumah tersebut menjadi tujuan orang yang penasaran, termasuk beberapa Youtuber hantu yang beberapa kali dating malam hari untuk mencari penampakan.  Sering terjadi kerasukan di rumah tersebut pada malam hari, kata penjaga rumah.
Bergaya khas Eropa. Lengkap dengan cerobong asap.
Sudut rumah
Berada di loteng rumah

saya juga memasuki kamar Ibu. Kamar dimana Ibu terbaring sakit dan menggunakan lonceng jika memanggil anaknya. Di scene film, kamar ini sungguh menakutkan.
di Kamar Ibu

Bagian paling angker, berada di bekas sumur, di belakang rumah, yang pintu selalu tertutup. Saya meminta penjaga rumah untuk mengantar saya melihat isinya. Memang seram. Di film, disinila muncul kepala manusia, pocong, dan nenek yang tecebur ke dalam sumur.
 
Rumah bagian belakang dengan bekas sumurnya.
Tidak berlama di Rumah Pengababdi Setan, kami melanjutkan ke Malabar Coffee, menulusuri perkebunan teh, yang hijau, jalan berkelok, dihiasi rumah-rumah tua bergaya Eropa, yang di dalam benak saya pasti berhantu.

Sekitar 30 menit perjalanan, kami sampai di Malabar Coffee. Sebuah tempat coffe yang unik, tidak terlalu mewah, dan mempunyai beberapa kandang luwak.
Saya tentu saja memesan kopi luwal. Hanya IDR 30.000. sebagai bukan penikmat kopi, saya tidak bisa menilai enak atau tidak, namun memang rasanya berbeda dengan kopi sachet yang dijual umum, sedikit asam namun enak.
 
Macam kopi di Coffee Malabar
Tidak bisa berlama-lama, dan tentu saja perut sudah lapar. Rumah Makan Tangek, rekomendasi tempat makan di perjalanan pulang. Rumah makan khas Sunda yang tentu saja bisa memanjakan lidah.
 
RM Tangek, khas Sunda

Sederhana namun enak
Jam 13.00, kami kembali ke Bogor, via Cipularang tentu saja.
Trip singkat ke Pangalengan. Ingat, Pangalengan tidak hanya pengolahan susu, tapi juga alam yang indah.


Catatan:
Entah kenapa, disana dan sekembali dari Pangalengan, ada beberapa hal yang aneh.
ah mungkin bukan karena hantu Rumah Pengabdi Setan.




Follow IG: @andrants



Sabtu, 09 Maret 2019

Pasar Kebon Watu Gede, Kembali Ke Masa Lalu



Magelang, Februari 2018

Tidak asing lagi ketika mendengar Pasar Kebon Watu Gede. Sudah sangat sering diposting di Instagram oleh beberapa photographer, dan masuk ke tayangan televisi. Unik. Hal ini yang membuat Pasar Kebon Watu Gede viral dan banyak mengundang pengunjung untuk menikmati Pasar yang hanya buka di Minggu Pahing dan Legi dalam penanggalan Jawa ini. Pasar ini berada di Dusun Jetak, Kecamatan Bandongan, Magelang, Jawa Tengah.
Gerbang menuju Pasar Kebon Watu Gede, di Ds Getak Bandongan Magelang


Pasar ini mulai dibuka pada tanggal 11 Februari 2018. Mulai menjajakan jajanan khasnya mulai pukul 06.00 s.d 12.00. Pengunjung sangat ramai ketika menjelang jam 09.00. Dengan menggunakan kebon pring, atau kebun bambu, banyak stan-stan penjual dengan gaya masa lalu berbahan bambu dan atap ilalang. Pas dengan gaya tempo dulu berlatar kebun bambu.
mau sehat? minum jamu


banyak jajanan enak dan murah
Nasi buntil dan ikan asin

Mengusung konsep “tempo dulu” dan bebas plastik dan kertas, pasar ini mewajibkan pedagangnya menggunakan pakaian khas Jawa lengkap dengan jarik, batik, dan blangkon bagi prianya. Tidak ada penggunaan plasktik dan kertas dalam bungkus atau alat makannya. Bathok kelapa digunakan sebagai pengganti gelas, sedangkan daun pisang digunakan untuk alas makan dengan piring dari anyaman bambu.
Dawet ireng, murah cukup 2 benggol.

Pecel, dengan mie dan cap jae..


Pengunjung menikmati suasana pasar yang unik
Alat pembayarannya pun tidak menggunakan mata uang rupiah. Pengunjung wajib menggunakan mata uang “benggol” untuk bertransaksi di Pasar Kebon Watu Gede ini. Setara berapa untuk satu benggol? Dua ribu rupiah saja.
 
jajanan lawas, susah ditemukan di tempat lain
Banyak jajanan tempo dulu, khas ndeso yang mungkin sudah sulit untuk dijumpai, misalkan dawet ayu, buntil daun singkong, cap jae, pecel, sate, jadah bakar, timus, keripik bayam, dan banyak jajanan ndeso lainnya. Harganya dari satu sampai dengan lima benggol.
Saya mencoba membeli buntil dengan lauk ikan asin, dengan harga lima benggol. Buntil dengan rasa yang khas, gurih sungguh nikmat disantap pagi hari. Pecel dengan cap jae pun saya coba dengan harga 3 benggol. Cukup murah.
 
Suasana tempo doeloe...
Tidak hanya makanan yang dijajakan di pasar ini, tapi ada juga tukang cukur bergaya lawas yang siap merapikan rambut dengan harga 5 benggol. Selain itu juga terdapat penjual mainan lawas dari bambu dan kayu.
Jika ingin banyak membungkus makanan, tersedia juga keranjang anyaman dari bambu sebagai pengganti tas plastik.
Makanan khas tempo doeloe

Pengunjung akan mulai ramai memadati pasar setelah jam 08.00. Sembari makan jajanan lawas, tidak ketinggalan mereka juga mengabadikan lapak penjual dengan keunikannya.

Pasar Kebon Watu Gede sangat mudah dijangkau. Hanya berjarak sekitar 5 KM dari Alun-alun Kota Magelang dengan mengarah ke Kecamatan Bandongan. Penunjung akan memarkirkan kendaraannya di dekat jalan raya dan berjalan aki sekauh 300 meter menyusuri jalanan dengan pemandangan sawah dan Gunung Sumbing dari kejauhan di sisi barat. Gunakan google maps jika menemui kesulitan.
berbondong ke pasar, seru!

Tertarik ke Pasar Kebon Watu Gede? Jadwalkan dan ingat, hari Minggu Pahing dan Legi saja!




For more photos, follow instagram @andrants