Jumat, 25 Januari 2019

Amazing!!! Embun Es Dieng

Agustus, 2018


“Waktu itu, Kakak saya meminta tolong untuk membawa pulang mobilnya dari Tangerang ke Magelang. Tentu saja siap bagi saya yang memang suka berkendara jauh”



Jam 20.30 WIB, saya tiba di Bandara Soekarna Hatta, setelah dua jam penerbangan dari Makassar. Cukup melelahkan, dan ngantuk. Tapi perjalanan masih panjang. Tangerang – Magelang, via darat. Sekitar 560 KM, atau 12 jam dengan berkendara kecepatan wajar. Masih ada 3 hari sebelum Prambanan Jazz hari terakhir. Saya harus tiba minggu siang di Magelang, dan minggu malam di Prambanan.

Tentu saja akan tidak berkesan jika hanya membawa mobil pulang begitu saja. Memang sebelum berangkat ke Tangerang, sudah terpikir akan mampir dimana. Bulan Agustus, saat itu sedang viral pemberitaan adanya “embun upas” di Dataran Tinggi Dieng. Apa itu embun upas? Embun upas adalah titik air di pagi hari yang membeku, embun racun bagi tanaman di Dataran Tinggi Dieng. Merusak tanaman petani, namun merupakan daya tarik bagi wisatawan.
Jam 22.00, mobil sudah saya ambil di bilangan Kota Tangerang, menelusuri Jalan Daan Mogot, dan masuk toll dalam kota mengarah ke Cawang Lanjut Cikampek. Sudah beberapa kali saya berkendara sendiri Jakarta-Magelang, jadi tidak kaget dengan kondisi jalanan dan macetnya Cikampek. Melewati toll JORR diatas jam 23.00 adalah tepat, kendaraan dapat dipacu diatas 100KM/jam. Namun ternyata tetap tersendat di toll Cikampek, ya kemacetan yang tidak kunjung usai meski dini hari.
Sekitar jam 01.30 dini hari, sampailah di Rest Area 102 Toll Cipali. Tempat favorit saya untuk beristirahat. Lumayan dapat beristirahat selama 3 jam, setelah sholat subuh perjalanan saya lanjutkan kembali. Perjalanan subuh dari Jakarta merupakan perjalanan yang menakjubkan, dengan hiasan matahari terbit dari ufuk timur.
Mentari terbit dari ufuk timur, Toll Cipali

Tidak memerlukan waktu lama untuk sampai exit toll Brebes Barat. Namun terkendala macet total selama 4 jam di daerah sebelum masuk Banyumas, karena adanya kampanye yang memakan jalan. Terpaksa saya mencari jalur lain melewati Guci Tegal, cukup memutar jauh.
Memutar mengeliling Gunung Slamet, dari Brebes ke Purbalingga

Sampai akhirnya tiba di Alun-Alun Wonosobo jam 17.30. Dengan cuaca mendung, tiba-tiba jadi ragu untuk meneruskan perjalanan ke Dieng. Mencoba berpikir dan menghitung jarak, dan masih dipusingkan dengan penginapan yang belum dipesan. Melihat perjalanan hanya memakan 1 jam lagi, niat itu kembali muncul. Sudah bawa kamera berat, tapi batal ke Dieng? Ah sayang sekali.
Langsung tancap gass saja.

Jam 19.30 saya tiba di Dieng. Tani Jiwo, sebuah penginapan yang sebelumnya saya sudah pernah menginap disini, dengan rate dormitory room yang hanya 150K. sayang, full oleh tamu yang memang hari itu, Dieng ramai sekali, karena memang dari Juli, sejak munculnya embun es, Dieng ramai dikunjungi wisatawan. Seadanya saja, yang penting ada tempat beristirahat dan cukup hangat untuk suhu Dieng yang memang sangat dingin di bulan Agustus. Akhirnya penginapan seharga IDR 250K/malam, dengan kondisi yang…, lumayan buat bisa istirahat, dan mempunyai air panas tentunya.
Ternyata setelah meluruskan kaki setelah perjalanan 18 jam, tidak bisa tidur juga. Penasaran dengan kondisi luar, sekitar jam 03.00 saya keluar penginapan, melihat atas mobil. Sangat dingin diluar, kap mobil sudah berlapis es tipis.

“wow… ini amazing!! Embun es di tanah Jawa”

lapisan es tipis diatas kap mobil, sekitar pukul 02.30 pagi.

Tidak rugi pegal kaki untuk mencapai Dieng. Tapi belum sampai disini, jam 05.00 saya harus sudah sampai di Komplek Candi Arjuna, dimana embun-embun es banyak berubah menjadi es, karena kompleks Candi Arjuna mirip cekungan yang dikelilingi pegunungan, sehingga membuatnya bersuhu sangat dingin.

Komplek Candi Arjuna dari kejauhan, berada di cekungan, dan barisan pegunungan Dieng

Selepas sholat subuh, saya menuju ke Komplek Candi Arjuna, ternyata matahari sudah dahulu muncul, dan sudah ramai pengunjung yang sibuk dengan kameranya.
Rerumputan di Komplek Candi Arjuna berubah keputihan karena embun yang berubah menjadi butiran halus es, dengan rumput yang sudah kecoklatan karena mati dengan suhu ekstem. Suhu di pagi hari mencapai 0°-2°C. Tidak hanya cukup dingin, tapi sangat dingin, bagi saya yang tidak pernah merasakan suhu sedingin ini sebelumnya.

es tipis yang menempel di dedaunan
sampai dengan jam 07.00, butiran es belum mencair

Golden Hours di Dieng adalah sebuah jawaban bagi penikmat pagi, dengan sunrise berwarna emasnya. Titik paling memukau, menurut saya, adalah dari atas big font bertulis “DIENG BANJARNEGARA”, diatas museum dan sedikit melewati lahan perkebunan kentang petani. Hanya ijin kepada petugas saja untuk masuk area ini. Dari sini, Candi Arjuna terlihat dari atas, dibentengi oleh Pegunungan Dieng yang kokoh kebiruan.


Komplek Candi Arjuna
Museum dekat Candi Gatotkaca
Jika kalian ingin mengunjungi Dieng dengan embun es nya, jadwalkan perjalanan ke Dieng pada bulan Juli-Agustus. Jangan lupa dengan kondisi badan yang fit, dan jaket tebal. Jika kondisi badan prima, bisa memilih short trip ke Bukit Sikunir untuk melihat sunrise dari sela gunung Sindoro, perlu diketahui Sunrise Bukti Sikunir adalah spot strategis, terbaik dan terindah se-Asia Tenggara (menurut google sih begitu). Anda juga dapat mengunjungi desa tertinggi di pulau Jawa, Desa Sembungan, dengan ketinggian 2.263 MDPL.
di perjalanan turun, dari Dieng ke Wonosobo

view dari Jalan Dieng-Wonosobo

Jam 09.00, saya putuskan untuk turun dari Dataran Tinggi Dieng, karena malam hari saya harus sudah berada di Candi Prambanan untuk melihat Prambanan Jazz Festival.
Dieng, trip “colongan” yang sungguh berkesan.



 kunjungi Instagram:

@andrants
*semua foto dari jepretan sendiri.

Senin, 21 Januari 2019

TERASERING PANYAWEUAN ARGAPURA

Terasering Panyaweuan Argapura.

Majalengka, 19 Januari 2019

Informasi awal sudah didapat, jadi modal saya kesana dengan membawa mobil.
Setelah mengisi perut dengan sop kaki kambing di bilangan Bekasi, jam 21.30 WIB saya arahkan mobil menuju toll cikampek.
Waktu pas ke Panyaweuan adalah pagi hari atau sore hari, karena siang sinar matahari begitu terik. Dan bulan yang pas adalah pas musim penghujan, seperti bulan Januari ini. Musim kemarau di bulan September, Panyaweuan adalah ladang yang kosong tanpa tanaman bawang.”

Sebenarnya badan sudah terasa ingin beristirahat. Ngantuk dan ingin rebahan saja, lanjut merem tentunya. Tapi trip ke Argapura sudah beberapa hari lalu direncanakan. Terasering Panyaweuan. Akhir-akhir ini memang sedang hits, ramai jadi perbincangan pemburu foto di instagram.
Dengan bekal mesin pencarian google, saya mencari informasi dimana lokasi dan cara kesananya. Ada banyak tulisan dari teman bloger yang sudah kesana. Oke, Terasering Panyaweuan, Kecamatan Argapura, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, kesana!!!

Poin penting berkunjung ke Panyaweuan adalah hati-hati di jalanan Argapura menuju Panyaweuan. Ada yang menyebut jalan menuju Panyaweuyan relatif susah, hanya bica dicapai dengan kendaraan pribadi atau angkutan umum dari terminal Maja. Bagi kendaraan pribadi, harus dengan kondisi yang fit dan skill pengemudi yang mahir pula. Karena jalan menuju kesana yang sempit dan berjurang di salah satu sisi. Tidak ada ojek menuju kesana.

...

Sudah 3 tahun ini memang Toll Cikampek selalu padat cenderung macet, karena pembangunan LRT yang saya juga tidak tahu kapan sampai selesainya. Exit dari Toll Cikampek sekitar pukul 23.00 WIB, perjalanan dilanjutkan dengan memasuki Toll Cipali.
Saya putuskan untuk beristirahat di Rest Area Toll Cipali KM 102.  Kembali saya cek rute dan lama dari Rest Area Toll Cipali KM 102 ke Panyaweuan. 2,5 jam. Jika sampai sana harus sebelum matahari terbit, harus start kembali paling lambat jam 03.00 WIB.
Lumayan bisa istirahat minimal 2 jam.

Alarm berbunyi tepat jam 02.30 WIB. Bergegas cuci muka, tidak lupa sholat tahajjud dulu, lumayan sudah tidur, dan berdoa agar perjalanan selalu lancar.
Dini hari memang waktu yang tepat di Toll Cipali, jalanan yang lengang, bisa memacu kendaraan lebih dari 100 Km/jam.
Waze kembali memberi arahan bahwa harus keluar di Exit Toll menuju Bandara Kertajati. Saya lupa nama exit tollnya, yang jelas menuju Bandara Kertajati.

Jam menunjukkan pukul 04.45 WIB. Lumayan cepat memang dari Rest Area Toll Cipali KM 102. Keluar toll Cipali, jalan menuju Majalengka cukup gelap. Sampai nanti akan bertemu dengan jalan dua arah yang terpisah pembatas jalan yang mulai ramai dan tentu sudah tidak gelap lagi karena lampu penerangan sudah mulai ada.
Kecamatan Maja, seperti yang saya baca di google, sebelum sampai di Argapura, harus melewati Kecamatan ini, melewati Alun-Alun Maja, ada sebuah masjid di depannya, pas dengan waktu subuh di Majalengka.

Namun saya tetap melanjutkan laju mobil, sampai akhirnya sampai di sebuah desa yang saya tidak tahu namanya, saya berhentikan mobil di sebuah masjid. Setelah sholat subuh, saya mencoba bertanya kepada nenek penjual serabi di dekat masjid mengenai lokasi Panyaweuan.

“Sudah dekat A', sekitar 5 km ke arah sana” dengan bahasa campur Sunda yang pastinya saya tidak paham.
Kembali saya menanyakan hal yang sama dengan pria paruh baya, karena informasi yang saya dapat dari google, lebih aman menggunakan angkutan umum karena kondisi jalan yang cukup sulit.

“Mobil bisa naik kok mas, tapi ada beberapa tikungan S yang harus berhat-hati. Tidak ada angkutan umum kesana.”

Ternyata bisa dibilang sulit mendapati angkutan umum ke Panyaweuan. Dengan yakin kondisi mobil yang fit dan mental yang siap, saya memberanikan untuk membawa naik mobil matic naik ke Panyaweuan. Dan memang, jalan yang ditemui sempit, menanjak dan gelap. Gigi yang dipakai selalu D2 karena memang jalanan yang menanjak. Sesekali berpapasan dengan mobil dan truk. Cukup sempit memang, tidak lebih dari 2,5 meter.



Tidak butuh waktu lama, Alhamdulillah, sampai juga akhirnya di Panyaweuan, Puncak dari Kecamatan Argapura. Sepanjang mata melihat, terasering semuanya dengan tanaman bawang merahnya. Beberapa sudut, petani-petani sibuk dengan kegiatan bertaninya, entah panen, menyemprot, atau sekedar menyiangi tanaman.

Tanaman bawang merah berjejer rapi, sangat indah dari kejauhan. Ternyata pagi itu sudah ramai oleh fotographer, sekitar 14 orang berkamera professional membidikkan lensa telenya, mengarahkan ke petani yang sedang beraktifitas. Ada juga yang menerbangkan drone, mencari sudut paling kece untuk di ambil gambarnya.


Pengunjung bisa menaiki bukit, yang saya kira adalah titik paling tinggi di Panyaweuan. Dengan membayar IDR 5000, pengunjung bisa menikmati titik tertinggi Panyaweuan. Ingat ya, jangan memasuki ladang yang memang khusus untuk petani. Meskipun sudah dipagari, namun tetap saja ada pengunjung yang nekat melewati pagar. Bukan untuk ditiru, jangan merusak tanaman bawang yang sudah dirawat hati-hati oleh petani, dan ingat tanaman bawang adalah sumber penghasilan bagi petani di Panyaweuan.






Puas menikmati dan meng-capture keindahan Panyaweuan, saya kembali ke parkiran semula, dengan berjalan kaki, dan mampir ke warung sederhana milik warga Panyaweuan, memesan mie rebus, karena memang perut sudah mulai lapar.

“Curug Muara Jaya”, ada arah panah menuju ke curug, rasa penasaran saya mumcul. Bertanya kepada ibu penjual mie rebus, ternyata tidak jauh, dan curug mempunyai 2 air terjun kecil dan besar. Sepertinya agak ragu menuju kesana dengan membawa mobil, karena jalanan yang curam, berkelok dan sempit. Si ibu penjual mie menawarkan untuk menyewa motornya kepada saya. IDR 50.000. Yamaha X-Ride, kuat gak nih? Hehehe…

Ternyata cukup mudah mencapai Curug Muara Jaya, sampai disana, masih sepi. Dengan tiket masuk IDR 15.000/orang, lumayan mahal menurut saya, karena wisata curug di Banyumas hanya mematok tiket masuk IDR 5000-10.000 saja.



Dengan sekitar 500an buah anak tangga, pengunjung akan disambut dengan air terjun yang tidak terlalu besar, namun dengan kolam yang cukup untuk bisa mandi-mandi dan berenang. Dengan naik beberapa tangga dari air terjun pertama, air terjun utama, yang dari tangga kejauahan terlihat, kita akan menemui Curug Muara Jaya yang mempunyai tinggi kurang lebih 30 meter.
Air segar dan bening, pelangi samar yang terbentuk karena partikel kecil air yang terbawa angin. Jangan lupa untuk membasuh muka dengan air curug ini, segar pastinya.
Di jalan kembali ke parkiran, tampak ibu-ibu petani yang sedang memanen bawang, sangat ramah menyapa para pengunjung curug muara jaya.

Jam sudah menunjukkan pukul 10.30 WIB, sudah saatnya turun dari Argapura. Perut sudah keroncongan, saya arahkan mobil ke Cirebon, biar perut diisi dengan yang enak-enak… Empal genthong, sego jamblang dan tahu gejrot.

Selamat merencanakan trip asik!


@andrants