Rabu, 30 September 2015

Bernyali di Kedungpete Baturraden

Kaki Gunung Slamet memang menyuguhkan keindahan alam yang bermacam warna. Kali ini keindahan alam yang menantang adalah Kedupete. Sebuah kedung,  atau dalam bahasa awamnya kolam air besar. Alami. Dengan kedalaman 6 meter jika penuh dengan air,  kedung ini sangat menantang bagi siapa saja yang suka dengan lompatan.
Ya saya sendiri sudah mencobanya. Meski tidak tinggi,  namun cukup membuat nyali saya ciut. Setelah meyakinkan sekitar 15 menit,  keberanian itu akhirnya muncul juga. Sensasinya memang liar biasa. Lega. Saat masuk kedalam air pun nikmat sekali.

Bagaimana menuju kesana? Ikuti saja jalani arah ke baturraden,  persis di gerbang selamat datang Baturaden,  ambil kanan. Ikuti saja jalan kampung,  nanti masuk ke desa karangsalam.  Dengan tiket Rp3000,00 ini sangat murah.
Ada yang mau coba??

Sabtu, 01 Agustus 2015

KAMPUNG TARUNG DAN WAITABAR SUMBA

Kampung Adat Waitabar dan Tarung

Jika ada yang pernah mengunjungi Kampung Adat Bena di Ngada Flores,  pasti akan takjub dengan kampung adat yang masih lestari itu (meski sebagian warganya sudah ada yang menggunakan sepeda motor). Bagaimana dengan pulau sebelah selatan Flores? Ya pulau Sumba. Tepatnya di pusat kota kabupaten Sumba Barat,  Waikabubak. Kota kecil ini memang semakin berkembang dan ramai, namun ada sebuah kampung adat yang masih mencoba bertahan dari riuhnya modernisasi. Jika sudah mendarat di Bandara Tambolaka di Sumba Barat Daya,  butuh 1 jam perjalanan untuk menuju Waikabubak. Ada angkutan travel yang bisa digunakan. 
Beruntung memang,  saya punya kenalan seorang lurah lulusan IPDN disana. Dari hotel hanya berjalan kaki saja menuju kampung Waitabar dan Tarung,.  Kampung ini dianggap sebagai pusat dari seluruh kampung adat yang ada di pulau Sumba . Karena bersama teman yang memang sudah terkenal disana,  jadi cukup nyaman bagi saya untuk berkunjung kesana. Free untuk masuk kesana,  hanya mungkin nanti kita sebaiknya membeli souvenir di sana,  berupa kain tenun atau manik2. Tidak mahal,  saya membeli kain tenun kecil seharga Rp20.000,00.
Bangunan yang masih terjaga,  adat yang masih dipegang, contohnya adalah upacara adat yang akan banyak mengorbankan babi dan kerbau. Kita bisa lihat tanduk kerbau dan taring babi hutan sebagai tanda seberapa sering dan besar upacara yang diadakan sebuah keluarga.

Di Sumba kita bisa melihat dunia Megalithic yang masih ada,  kubur batu. Ya disana memang seseorang yang meninggal akan 'dikubur" di dalam sebuah batu. Namun semakin kesini tren disana,  kubur batu sudah digantikan dengan semen yang dibentuk sebagai batu yang berlubang ditengahnya. Mungkin karena biaya yang mahal dan susahnya mencari batu saat ini.

Teman dapat membeli oleholeh dari Waikabubak berupa parang Sumba,  saya ada beli 3 dari sana. Yang jadi masalah adalah nanti di airport,  petugas bandara akan meminta "bayaran" Rp50.000 per parang,  katanya untuk biaya keluar. Jangan mau,  karena bagi saya itu pungli,  karena memang tidak ada kwitansi resminya. 
Ada yang ingin berkunjung ke Sumba? Jangan lupa menikmati setiap momentnya..

Sabtu, 25 Juli 2015

Borobudur Nirwana Sunrise Punthuk Setumbu

Pagi itu, jam 5.00 saya sudah siap dengan motor yang sudah saya panaskan mesinnya. Mau kemana sepagi ini yang biasanya masih enak-enakan tidur?
Punthuk Setumbu. Tempat apa ini? Sudah dua kali saya mengunjungi spot ini, dulu sih siang sekitar jam 9.00, kali ini pagi sekali, tidak lain hanya demi sunset yang indah.
Hanya 20 menit saja sampai di Punthuk Setumbu dari rumah, sebenarnya bisa lebih cepat lagi, namun karena ada penutupan jalan maka harus lewat jalan yang lebih jauh.

Tidak seperti waktu pertama kali datang, kali ini ramai sekali, mobil dan bus, apalagi motor, beda sekali dengan pas pertama kali datang tahun lalu. Setelah parkir, dengan membayar dimuka sebesar Rp2000,00 saya langsung ke loket Punthuk Setumbu, masih Rp15.000,00 ternyata tiket masuknya untuk turis lokal dan Rp20.000,00 untuk turis dari negeri seberang.

Dengan tiket ditangan, mulailah kita tracking sederhana, sederhana? Ya. sekitar 500m jalur ke puncak Punthuk Setumbu dengan beberapa puluh anak tangga. Lumayan lah untuk cari keringat pagi pagi. Haus? Tidak perlu kawatir, ada kok yang jualan minum. hehehe...
Setiba di puncak ternyata sudah ramai sekali, bule dan turis lokal sudah memandang ke arah utara menunggu sunrise, dengan kamera SLR dan handphone masing-masing ditangan.




















Mungkin pagi itu semua kurang beruntung, karena kabut yang terlalu tebal, sunrise jadi kurang begitu "wah". Tapi sensasi menunggu sunrise rame-rame buat saya sudah cukup mengobati kekecewaan ini.
Percaya kah jika Punthuk Setumbu - Candi Borobudur - Candi Pawon - Candi Mendut berada dalam satu garis lurus imajiner? Harus percaya! Karena memang begitu adanya.. hehehe








































Meski kurang wah pagi itu, tapi kamera saya lumayan dapat momen yang cukup menarik, sunrise dari Punthuk Setumbu. Dari sini kita bisa melihat kepala Gereja Ayam (tulisan untuk Gereja Ayam akan ditulis dalam tulisan lain, hehehe) dan candi Borobudur, dimana indahnya? Oooo ini indah sekali, saat matahari terbit, matahari akan naik dari belakang Gunung Merapi, sinarnya perlahan akan membuka kabut yang ada di Candi Borobudur sampai Candi Budha terbesar itu akan tersibak dengan indahnya.


Ada yang pengen kesini? Mudah kok jalurnya, cari saja Hotel Manohara, jika sudah ketemu, ke selatan, nanti ketemu pertigaan pertama, belok kiri, lurus saja mesku ketemu perempatan dan pertigaan, petunjuk arah yang ada kan sangat memudahkan sampai tempat ini.

salam
@andrants