Minggu, 10 Februari 2019

Toraja, Negeri Indah dengan Budaya Unik (Part 2)





Jam 05.00 WITA, alarm berbunyi…
Tidak terlalu susah bangun tidur pagi itu. Memang karena dari sekitar jam 03.00 pagi sudah mulai terbangun, karena masih berpikir jam berapa baiknya menuju ke Lolai. Kawatir terlambat sampai di Lolai.
Kamar sebelah memang sudah bersiap pagi-pagi jauh sebelum saya berangkat menuju Lolai.
Tepat 5.30 sepeda motor tanjap gass…
Belum paham jelas lewat mana sebenarnya ke Lolai. Tapi bekal informasi dari petugas sore malam sebelumnya cukup memberikan bayangan. Lewat jembatan dekat dengan Buntu Singki.
Buntu Singki

Ditengah perjalanan meragu, apakah jalan yang dilewati sudah benar atau tidak.
Sembari mengisi bensin, saya bertanya ke penjual bensin eceran bagaimana mencapai Lolai. Ternyata jalan yang saya lalui memang benar, namun si Bapak mengatakan jika saya sudah cukup kesiangan untuk tiba di Lolai jika jam segini baru berangkat.
Pagi itu lumayan banyak mobil yang mengarah ke Lolai. Dengan jalanan yang cukup sempit, saya berusaha menyalip setiap kendaraan yang ada di depan saya, karena terbawa dari ucapan bapak penjual bensin sebelumnya.
Cukup dingin untuk udara pagi di Toraja Utara saat itu, Maret 2018.
Ternyata cukup dekat, Hotel Kartika 2 dengan Lolai, tidak sampai 45 menit.
 
Lolai, sudah ramai dengan para pengunjung 
Sudah sangat ramai dengan pengunjung dan para Camping-ers pagi itu. Menurut saya, saya tiba di jam yang tepat,  tidak terlalu pagi dan tidak terlalu siang.
Pagi itu matahari belum muncul dari ufuk timur. Kata penjual disana, kabut akan mulai menutupi Lolai mulai jam 07.00.
Rantepao dan sekitarnya masih bisa terlihat jelas dari Lolai.
Ketika matahari mulai menampakkan sinarnya, jepretan kamera mulai banyak mengabadikan moment sunrise dari Lolai.
View yang sangat indah, dari kejauhan nampak Tongkonan menghiasi alam Toraja dengan kabut-kabut tipisnya, syahdu.
berpose di Lolai, negeri atas awan


Dan benar, mulai jam 07.00, kabut mulai menutupi Lolai, sedikit demi sedikit, sehingga nampak Lolai seolah berada diatas awan, dengan hamparan awan putih dibawahnya menutupi langit Toraja.
Memang pantas Lolai di sebut Negeri di Atas Awan.

09.00, saya kembali turun dari Lolai. Kembali ke hotel untuk sarapan dan mandi, dan mempersiapkan perjalanan ke Ketekesu dan Kalimbuang Bori.
Selepas Dzuhur, saya berangkat ke Ketekesu. Apa itu Ketekesu?
Ketekesu, dengan Tongkonannya



Ketekesu adalah objek wisata berjarak 4 KM tenggara Rantepao, cukup mudah mengakses tempat ini. Keteseu dapat dibilang sebagai desa wisata, dengan ada dan tradisional yang masih dapat dijumpai sampai saat ini. Berjejer Tongkonan megah di sini, tidak jauh dari kompleks rumah adat ini, terdapat penginggalan masa lampau, kuburan batu yang diperkirakan telah berusia 500 tahun lebih. Banyak peti atau kubur batu dijumpai disini, baik yang menggantung di tebing atau di dalam goa.
Tengkorak, tulang belulang banyak berserak di peti kayu yang sudah melapuk.

Tulang belulang yang berserakan, dari peti yang sudah lapuk
Ingat, jangan menyentuh dan memindahkan!

Tengkorak di salah satu peti

Cukup menakutkan bagi siapa yang jarang melihat langsung tengkorak dan tulang belulang manusia.
Kita dapat menelusuri tangga sempit yang sepertinya mengelilingi bukit, dengan tengkorak dan tulang belulang berada di samping tangga. Ada beberapa goa yang sekarang sudah di buat pagar, agar tidak dapat diakses oleh pengunjung.
Jangan sekali-kali menyentuh atau bahkan memindahkan tengkorak dan tulang belulang ya, karena harus diadakan upacara adat untuk kegiatan ini.
Di Ketekesu juga terdapat banyak kios kecil yang menjual cinderamata, baik gantungan kunci, kain tenun, atau bahkan tas motif khas Toraja.
Menurut saya, Ketekesu dengan Tongkonannya, adalah spot paling Instagramable di Toraja Utara. Keren.

Setelah puas dengan berfoto berlatarbelakang Tongkonan, saya melanjutkan perjalanan ke Kalimbunag Bori. Kalimbuang Bori terletak di Kecamatan Sesean Toraja Utara. Dengan jalanan menelurusi perwasahan dengan jalan sempit. Sepeda motor yang saya kendarai pun ikut meliuk-liuk mengikuti alur jalan yang dipinggirnya terdapat sungai yang berair kecoklatan.
Sekilas tentang Kalimbuang Bori

Spot ini sangat menarik, karena mengingatkan saya pada Budaya Sumba Barat. Kembali saya menemukan budaya Megalitik di Kalimbuang Bori. Menhir dengan jumlah banyak bisa dijumpai dengan ukuran yang sedang hingga sangat besar.  Dari penjelasan guide, terdapat 102 buah menhir berbagai ukuran, 54 ukuran kecil, 24 ukuran sedang, dan 24 ukuran besar.
Apa tujuan didirikannya Menhir-Menhir ini?


Menghormati pemuka adat atau keluarga bangsawan. Tidak sembarang untuk mendirikan Menhir ini, masyarakat harus mengadakan upacara adat terlebih dahulu. Untuk satu Menhir, setidaknya 23 kerbau harus dikurbankan. Semakin tinggi Menhir yang didirikan, semakin tinggi pula derajat kebangsawannannya.
Menhir terbesar di Kalimbuang Bori

Menhir-Menhir ini dibuat dari batu utuh yang dipahat, sampai sekarang saya masih heran dari mana asal batu dan bagaimana cara mengangkut dan mendirikannya? Dengan ukuran sebesar itu.
Usut punya usut, batu yang telah dipahat, akan ditarik dari tempat asalnya dipahat hingga ke lokasi pendirian, dapat memakan waktu berbulan-bulan dan ratusan orang. Hal yang mudah karena rasa persaudaraan dan kekeluargaan di Toraja yang erat.
Mengabadikan Tongkonan di Kalimbuang Bori

Tongkonan di Kalimbuang Bori

Kalimbuang Bori

Tidak hanya Menhir di Kalimbuang Bori, tapi juga terdapat Tongkonan tua dan kubur batu yang sangat besar.
Menelusuri jalan setapak di hutan bambu, tiba-tiba saya dikejutkan dengan batu besar berbentuk oval yang berlobang persegi sebagai peletakan jenazah. Liang Pa’, sebuah kompleks kuburan kuno di Kalimbuang Bori.
Liang Pa', dengan lobang-lobang untuk jenazah

Ada banyak lobang di batu besar berbentuk oval ini, konon, satu lobang ini dikhususkan untuk satu keluarga.  Terlihat di salah satu lobang yang pintunya sudah tidak ada, tumpukan tengkorak dan tulang belulang berserakan, di tengah hutan bambu, seram dan sangat mistis.
Cukup lama saya berada di Kalimbuang Bori, sekitar 2 jam saya berada disini, dengan kekaguman akan Menhir-Menhir dan kuburan batu besar ini.

Hari sudah semakin sore, saat tiba di Rantepao. Saya mampir ke toko oleh-oleh di kompleks pertokoan, membeli kopi khas Toraja, yang baunya sangat menggoda.
malam kedua saya gunakan untuk beristirahat dan packing untuk esok hari, karena jam 08.00 sudah harus kembali ke Makassar.
Hari ketiga di Rantepao, dengan perasaan cukup puas meski sebenarnya masih banyak destinasi yang belum tereksplor, tapi perjalanan selama 2 hari kemarin cukup membuka wawasan bahwa Toraja memang unik dengan adat istiadatnya, oiyaa.. untuk harga tiket masuk di Lolai, Ketekesu dan Kalimbuang Bori adalah IDR 15K, cukup murah untuk sebuah destinasi keren dan unik.

Duuh… ketika mau mengembalikan sepeda motor yang saya pinjam, ternyata ban belakangnya bocor, mencari tempat tambal ban dan bensin di hari Paskah di Rantepao adalah suatu hal yang sangat sulit karena penduduknya berangkat ke Gereja untuk beribadah. Dengan sangat terpaksa saya kembalikan sepeda motor ke Novita dengan kondisi ban kempes dan bensin yang minim, ahh.. sudah merepotkan tambah bikin susah lagi... maafkan saya ya Nov…


follow IG for more photos:

@andrants

Jumat, 01 Februari 2019

Toraja, Negeri Indah dengan Budaya Unik (Part 1)

Toraja, Negeri Indah dengan Budaya Unik (Part 1)

Maret 2018

Di masa lalu, orang Bugis menyebut sebagai To Riaja, yang berarti orang yang tinggal di negeri atas atau pegunungan. Dilihat dari tingginya, Toraja berada di 704-1.646 MDPL.

Tongkonan, Rumah Adat Asli Toraja

Sangat berkesan berkunjung ke Tana Toraja dan Toraja Utara di pertengahan 2018. Dengan transportasi bus, Toraja dapat dicapai selama sekitar 9 jam perjalanan dari Kota Makassar. Bus yang saya naiki, berangkat dari Terminal Daya Makassar pukul 21.00, dan sampai di Rantepao pada pukul 06.00 keesokan harinya.

Dengan becak motor, saya menuju Hotel Kartika 2, hotel bintang dua yang nyaman, tengah kota, namun dengan rate lumayan, IDR 650K/malam. Tidak banyak waktu untuk beristirahat memang, karena ittinery yang saya buat sudah harus dimulai pada pukul 09.00.
Setelah siap, saya menuju rumah teman kantor, Novita, lumayan dapat pinjaman motor gratis selama tiga hari dua malam hari di Toraja. Sekalian mem-fix kan ittenary ke orang asli Toraja agar perjalanan semakin terarah dan tidak banyak membuang waktu.

Saya berada di Toraja selama tiga hari dua malam, namun hanya bisa jalan-jalan selama dua hari karena hari ketiga, pagihari sudah harus kembali ke Makassar. List tempat yang akan saya kunjungi adalah:
1.     Buntu Burake
2.     Kuburan Londa
3.     Kuburan Lemo
4.     Pasar Hewan Bolu Rantepao
5.     Ketekesu
6.     Negeri Atas Awan Lolai
7.     Kalimbuang Bori

Sepeda motor sudah ada, yang pertama dilakukan adalah mencari sarapan. Perut yang lapar akan mengganggu perjalanan bukan?!  Agak susah mendapat tempat makan yang nyaman bersih dan halal di Rantepao.
Sudut Kota Makale, DPRD Kabupaten Tana Toraja

Sepeda motor saya arahkan ke Ibu Kota Kabupaten Tana Toraja, Makale. Tidak butuh waktu lama untuk mencapai Makale, hanya butuh waktu sekitar 40 menit.
Sejenak berhenti menikmati lalu lalang Kota Makale di Plaza Kolam Makale, dari sini Patung Yesus di Bukit Buntu Burake terlihat jelas.
Patung Yesus Memberkarti, dari Plaza Kolam Makale

Akses menuju Bukit Buntu Burake tidak sulit, jalan yang mulus lagi meliuk, menanjak tentunya.
Harga tiket masuk Bukit Buntu Burake adalah IDR 10K, cukup terjangkau.
Ditengah terik matahari yang panas, berada di bawah Patung Yesus ini angin cukup kencang, lumayan mengeringkan keringat.
Patung Yesus Memberkati ini dibangun mulai tahun 2014, dengan tinggi 40 meter, dan dibangun di Bukit Buntu Burake dengan ketinggian 1.700 MDPL, membuat Patung ini adalah Patung Yesus Memberkati terbesar dan tertinggi di dunia.
Disini juga terdapat jembatan kaca yang dapat pengunjung nikmati, sayang pas saya datang, sedang ditutup untuk umum. Tidak berlama saya disini, karena harus melanjutkan ke Lemo.
 
Yesus Memberkati
Yesus dari balik dedaunan di Buntu Burake

Lemo adalah sebuah komplek kuburan batu yang berada di tebing batu dengan tinggi sekitar 20-30 meter dari atas tanah. Yang unik adalah, bangsawan yang meninggal akan dikuburkan pada ceruk tebing yang sudah dilobangi, dengan dimensi sekitar 1 meter kali 1 mater. Tinggi kuburan menandakan derajat yang meninggal. Hal menarik lain adalah adanya patung kayu, yang disebut Tao-Tao.  Tao-Tao dipahat dari kayu menyerupai orang yang meninggal. Di Londa, ritual Ma Nene, atau mengganti baju jenazah sering diadakan. Ma Nene merupakan simbol penghormatan kepada orang tua yang sudah meninggal. Harga tiket masuk ke Lemo seharga IDR 10K.
Wisatawan mengunjungi Lemo

Tao Tao, dibuat menyerupai wajah orang yang telah meninggal
 
Kubur Baru berbentuk persegi dan bertingkat di Lemo

Tempat menarik lagi yang harus tidak terlewati adalah Kuburan Tua Londa. Tidak jauh dari destinasi sebelumnya, Londa bisa dicapai dari Rantepao hanya dengan 30 menit, atau berjarak 7 KM dari Rantepao. Londa berbeda dengan Lemo, karena di Londa, tidak hanya kuburan batu di tebing, namun juga terdapat kuburan di dalam goa. Sama dengan Lemo, disini juga terdapat Tao-Tao yang diletakkan di dekat lobang tempat jenazah di semayamkan. Semakin tinggi posisi peti mati, semakin tinggi pula posisi tersebut di dalam masyarakat.


Di dampingi guide, saya mencoba masuk ke dalam goa, konon panjang dari goa ini berkisar 900-1000 meter. Di dalam goa ini akan dijumpai banyak sekali tengkorak dan kerangka manusia yang berada dicelah goa, maupun di lantai goa.
Tengkorak yang tersusun di salah satu sudut goa

Tumpukan tengkorak di Londa

Ingat ya, jangan menyentuh tengkorak atau kerangka, karena untuk memindahkan tengkorak atau kerangka harus diadakan upacara adat. Menurut penjelasa guide yang memandu kami, Londa merupakan kuburan keluarga terbesar di Toraja Utara dari garis keturunan Marga Tolengke. Di dalam goa ini, akan dijumpai tengkorak sepasang kekasih yang mengakhiri hidupnya karena hubungannya tidak direstui orang tuanya karena keduanya masih mempunyai hubungan darah/saudara.
 
Tengkorak sepasang kekasih yang bunuh diri bersama
Setelah menunaikan makan siang, perjalanan selanjutnya adalah Pasar Hewan Bolu di Rantepao. Apa uniknya main ke pasar hewan?! Lets see….
Dengan berbekal google maps, sepeda motor melaju pelan di jalan raya yang lumayan rame, berpapasan dengan motor-motor yang membawa babi di jok belakang, menelusuri poros Rantepao-Palopo. Hanya 10 menit saja dari pusat kota Rantepao. Pasar hewan ini buka dari jam 07.00 s.d 18.00.
Pasar Hewan Bolu konon adalah pasar kerbau terbesar di dunia, karena dalam satu hari ada 500 ekor kerbau yang diperjualbelikan di pasar ini. Adat Toraja memang dekat dengan kerbau, dimana setiap upacara adatnya selalu ada pemotongan kerbau. Ada beberapa tingkat/jenis kerbau yang diperjualbelikan , yaitu Kerbau Saleko atau kerbau bule, Kerbau Bonga, Kerbau Lotong Boko, Kerbau Ballian, dan Kerbau Pudu’ yang mempunyai harga paling murah.

Kerbau atau disebut Tedong dalam bahasa Toraja mempunyai harga yang fantastis, yang paling mahal adalah Tedong saleko, harganya mencapai 1 Milyar per ekor. Tedong Saleko mempunyai warna dasar putih dan belang hitam dengan tanduk kuning gading dan bola mata berwarna putih.
Tedong Bonga, harga kerbau ini hampir mirip dengan harga Tedong Saleko, namun lebih murah dengan ciri fisik berwarna dasar hitam dengan belang putih.
Tedong Saleko? atau Tedong Bonga?

Tedong Ballian mempunyai ciri khas yang berbeda dengan kerbau lainnya, ciri fisik terlihar dari tanduk kerbau yang mempunyai rentang panjang mencapai 2 meter, dengan warna hitam dan tubuh gempal. Harga dari kerbau ini berkisar 100 jutaan.
Di dalam adat Toraja, banyaknya kerbau yang dikorbankan dalam sebuah upacara adat, merupakan tolok ukur kemakmuran dari keluarga tersebut.





Hari pertama di Toraja sudah sangat memuaskan dan melelahkan. Saya kembali ke Hotel Kartika 2 setelah maghrib, setelah menikmati lele dengan nasi uduk di warung makan lamongan di jajaran kompleks pertokoan Rantepao.
Perjalanan belum selesai, masih ada satu hari lagi untuk kembali mengeskplore Toraja.
Istirahat dulu, besok pagi subuh ke Negeri di Atas Angin, Lolai.

(bersambung… part 2)




follow IG for more photos:
@andrants